Kamis, 18 April 2013

Pengertian, Fungsi, Ciri-Ciri, Jenis-Jenis, dan Tahap Pembentukan Hipotesis


Pengertian Hipotesis
Hipotesis berasal dari bahasa Yunani: hypo = di bawah; thesis = pendirian, pendapat yang ditegakkan, kepastian. Artinya, hipotesa merupakan sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka kegiatan ilmiah yang mengikuti kaidah-kaidah berfikir biasa, secara sadar, teliti, dan terarah. Dalam penggunaannya sehari-hari hipotesa ini sering juga disebut dengan hipotesis, tidak ada perbedaan makna di dalamnya. Hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap masalah yang kan diteliti. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut.
Dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan atau menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori. Proses pembentukan hipotesis merupakan sebuah proses penalaran, yang melalui tahap-tahap tertentu.

Fungsi Hipotesis

Fungsi penting hipotesis di dalam penelitian, yaitu:
1.   Untuk menguji teori,
2.   Mendorong munculnya teori,
3.   Menerangkan fenomena sosial,
4.   Sebagai pedoman untuk mengarahkan penelitian,
       5.   Memberikan kerangka untuk menyusun kesimpulan yang akan dihasilkan.

Ciri-Ciri Hipotesis:
Untuk dapat memformulasikan hipotesis yang baik dan benar, sedikitnya harus memiliki beberapa ciri-ciri pokok, yakni:
   1.    Hipotesis diturunkan dari suatu teori yang disusun untuk menjelaskan masalah dan dinyatakan dalam proposisi-proposisi. Oleh sebab itu, hipotesis merupakan jawaban atau dugaan sementara atas masalah yang dirumuskan atau searah dengan tujuan penelitian.
     2.    Hipotesis harus dinyatakan secara jelas, dalam istilah yang benar dan secara operasional. Aturan untuk, menguji satu hipotesis secara empiris adalah harus mendefinisikan secara operasional semua variabel dalam hipotesis dan diketahui secara pasti variabel independen dan variabel dependen.
     3.    Hipotesis menyatakan variasi nilai sehingga dapat diukur secara empiris dan memberikan gambaran mengenai fenomena yang diteliti. Untuk hipotesis deskriptif berarti hipotesis secara jelas menyatakan kondisi, ukuran, atau distribusi suatu variabel atau fenomenanya yang dinyatakan dalam nilai-nilai yang mempunyai makna.
   4.    Hipotesis harus bebas nilai. Artinya nilai-nilai yang dimiliki peneliti dan preferensi subyektivitas tidak memiliki tempat di dalam pendekatan ilmiah seperti halnya dalam hipotesis.
      5.    Hipotesis harus dapat diuji. Untuk itu, instrumen harus ada (atau dapat dikembangkan) yang akan menggambarkan ukuran yang valid dari variabel yang diliputi. Kemudian, hipotesis dapat diuji dengan metode yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengujinya sebab peneliti dapat merumuskan hipotesis yang bersih, bebas nilai, dan spesifik, serta menemukan bahwa tidak ada metode penelitian untuk mengujinya. Oleh sebab itu, evaluasi hipotesis bergantung pada eksistensi metode-metode untuk mengujinya, baik metode pengamatan, pengumpulan data, analisis data, maupun generalisasi.
   6.    Hipotesis harus spesifik. Hipotesis harus bersifat spesifik yang menunjuk kenyataan sebenarnya. Peneliti harus bersifat spesifik yang menunjuk kenyataan yang sebenarnya. Peneliti harus memiliki hubungan eksplisit yang diharapkan di antara variabel dalam istilah arah (seperti, positif dan negatif). Satu hipotesis menyatakan bahwa X berhubungan dengan Y adalah sangat umum. Hubungan antara X dan Y dapat positif atau negatif. Selanjutnya, hubungan tidak bebas dari waktu, ruang, atau unit analisis yang jelas. Jadi, hipotesis akan menekankan hubungan yang diharapkan di antara variabel, sebagaimana kondisi di bawah hubungan yang diharapkan untuk dijelaskan. Sehubungan dengan hal tersebut, teori menjadi penting secara khusus dalam pembentukan hipotesis yang dapat diteliti karena dalam teori dijelaskan arah hubungan antara variabel yang akan dihipotesiskan.
     7.    Hipotesis harus menyatakan perbedaan atau hubungan antar-variabel. Satu hipotesis yang memuaskan adalah salah satu hubungan yang diharapkan di antara variabel dibuat secara eksplisit.

Jenis-Jenis Hipotesis
Jenis-jenis hipotesis, antara lain:
1.    Hipotesis Deskriptif
Hipotesis yang tidak membandingkan dan menghubungkan dengan variable lain atau hipotesis yang dirumuskan untuk menggambarkan suatu fenomena, atau untuk menjawab permasalahan taksiran.
Contoh:
a.    Disiplin kerja pegawai negeri sangat tinggi
b.    Motivasi belajar fisika peserta didik mencapai 90% dari criteria rata-rata ideal.
2.    Hipotesis Komparatif
Hipotesis yang dirumuskan untuk memeberikan jawaban pada permasalahn yang bersifat membedakan atau membandingkan antara satu dengan data lainnya.
Contoh:
a.    Ada perbedaan kemampuan berbahasa asing antara lulusan swasta dengan negeri
b.   Ada perbedaan gairah belajar peserta didik yang orang tuanya pejabat dengan peserta didik yang orang tuanya petani
3.    Hipotesis Asosiatif
Hipotesis yang dirumuskan untuk memberikan jawaban pada permasalahan yang bersifat hubungan / pengaruh. Sedangkan menurut sifat hubungannya hipotesis ini dibagi tiga jenis, yaitu.
a.    Hipotesis hubungan simetris
Hipotesis yang menyatakan hubungan bersifat kebersamaan antara dua variable atau lebih tetapi tidak menunjukkan sebab akibat.
Contoh:
1.    Ada hubungan antara berpakaian mahal dengan penampilan
2.    Terdapat hubungan yang positif antara banyaknya peserta didik rajin belajar dengan tingkat intelegensi (IQ)

b.    Hipotesis hubungan sebab akibat (kausal)
Hipotesis yang menyatakan hubungan bersifat sebab akibat antara dua variable atau lebih.
Contoh.
1.    Tingkat pengangguran berhubungan dengan tingkat kriminalitas
2.    Tingkat keberhasilan peserta didik bergantung pada cara belajar peserta didik itu sendiri
c.    Hipotesis hubungan interaktif
Hipotesis hubungan antara dua variable atau lebih bersifat saling mempengaruhi.
Contoh.:
1.    Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara status peserta didik sebagai anak pejabat dengan cara belajar peserta didik di sekolah.
2.    Terdapat pengaruh timbal balik antara kreativitas peserta didik dengan hasil belajar

Tahap-Tahap Pembentukan Hipotesis

Tahap-tahap pembentukan hipotesa pada umumnya sebagai berikut:

      1.    Penentuan masalah.
Dasar penalaran ilmiah ialah kekayaan pengetahuan ilmiah yang biasanya timbul karena sesuatu keadaan atau peristiwa yang terlihat tidak atau tidak dapat diterangkan berdasarkan hukum atau teori atau dalil-dalil ilmu yang sudah diketahui. Dasar penalaran pun sebaiknya dikerjakan dengan sadar dengan perumusan yang tepat. Dalam proses penalaran ilmiah tersebut, penentuan masalah mendapat bentuk perumusan masalah.
      2.    Hipotesis pendahuluan atau hipotesis preliminer (preliminary hypothesis).
Dugaan atau anggapan sementara yang menjadi pangkal bertolak dari semua kegiatan.  Ini digunakan juga dalam penalaran ilmiah. Tanpa hipotesa preliminer, pengamatan tidak akan terarah Fakta yang terkumpul mungkin tidak akan dapat digunakan untuk menyimpulkan suatu konklusi, karena tidak relevan dengan masalahyang dihadapi. Karena tidak dirumuskan secara eksplisit, dalam penelitian, hipotesis priliminer dianggap bukan hipotesis keseluruhan penelitian, namun merupakan sebuah hipotesis yang hanya digunakan untuk melakukan uji coba sebelum penelitian sebenarnya dilaksanakan.
      3.    Pengumpulan fakta.
Dalam penalaran ilmiah, di antara jumlah fakta yang besarnya tak terbatas itu hanya dipilih fakta-fakta yang relevan dengan hipotesa preliminer yang perumusannya didasarkan pada ketelitian dan ketepatan memilih fakta.
      4.    Formulasi hipotesa.
Pembentukan hipotesa dapat melalui ilham atau intuisi, dimana logika tidak dapat berkata apa-apa tentang hal ini. Hipotesa diciptakan saat terdapat hubungan tertentu di antara sejumlah fakta. Sebagai contoh sebuah anekdot yang jelas menggambarkan sifat penemuan dari hipotesa, diceritakan bahwa sebuah apel jatuh dari pohon ketika Newton tidur di bawahnya dan teringat olehnya bahwa semua benda pasti jatuh dan seketika itu pula dilihat hipotesanya, yang dikenal dengan hukum gravitasi.
      5.    Pengujian hipotesa
Artinya, mencocokkan hipotesa dengan keadaan yang dapat diamati dalam istilah ilmiah hal ini disebut verifikasi (pembenaran). Apabila hipotesa terbukti cocok dengan fakta maka disebut konfirmasi. Falsifikasi(penyalahan) terjadi jika usaha menemukan fakta dalam pengujian hipotesa tidak sesuai dengan hipotesa. Bilamana usaha itu tidak berhasil, maka hipotesa tidak terbantah oleh fakta yang dinamakan koroborasi (corroboration). Hipotesa yang sering mendapat konfirmasi atau koroborasi dapat disebut teori.
      6.    Aplikasi/penerapan.
Apabila hipotesa itu benar dan dapat diadakan menjadi ramalan (dalam istilah ilmiah disebut prediksi), dan ramalan itu harus terbukti cocok dengan fakta. Kemudian harus dapat diverifikasikan/koroborasikan dengan fakta.


Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar